Senin, 14 Juli 2008

Orang-orang Romantis

Qais sebenarnya tidak harus bunuh diri. Hidup tetap bisa dilanjutkan tanpa Layla. Tapi itulah masalahnya. Ia tidak sanggup. Ia menyerah. Hidup tidak lagi berarti baginya tanpa layla. Ia memang tidak minum racun. Atau gantung diri. Atau memutus urat nadinya. Tapi ia membiarkan dirinya tenggelam dalam duka sampai napas berakhir. Tidak bunuh diri. Tapi jalannya seperti itu. Orang-orang romantis selalu begitu : rapuh. Bukan karena romantisme mengharuskan mereka rapuh. Tapi di dalam jiwa mereka ada bias besar. Mereka punya jiwa yang halus. Tapi kehalusan itu berbaur dengan kelemahan. Dan itu bukan kombinasi yang bagus. Sebab batasnya jadi kabur. Kehalusan dan kelemahan jadi tampak sama. Qais lelaki yang halus. Sekaligus lemah. Kombinasi begini banyak membuat orang-orang romantis jadi sangat rapuh. Apalagi saat-saat menghadapi badai kehidupan. Misalnya ketika mereka harus berpisah untuk sebuah pertempuran. Maka cinta dan perang selalu hadir sebagai momen paling melankolik bagi orang-orang romantis. Mengerikan. Tapi tak terhindarkan. Berdarah-darah. Tapi tak terelakkan. Itu dunia orang-orang jahat. Dan orang-orang romantis datang kesana sebagai korban. Begitu ruang kehidupan direduksi hanya ke dalam kehidupan mereka berdua dunia tampak sangat buruk dengan perang. Tapi kehidupan punya jalannya sendiri. Ada kaidah yang mengaturnya. Dan perang adalah niscaya dalam aturan itu. Maka terbentanglah medan konflik yang rumit dalam batin mereka. Dan orang-orang romantis yang rapuh itu selalu kalah. Itu sebabnya Allah mengancam orang-orang beriman : kalau mereka mencintai istri-istri mereka lebih dari cinta mereka pada jihad, maka Allah pasti punya urusan dengan mereka. Tapi itulah persoalan inti dalam ruang cinta jiwa. Jika cinta jiwa ini berdiri sendiri, dilepas sama sekali dari misi yang lebih besar, maka jalannya memang biasanya kesana : romantisme biasanya mengharuskan mereka mereduksi kehidupan hanya ke dalam ruang kehidupan mereka berdua saja. Karena di sana dunia seluruhnya hanya damai. Di sana mereka bisa menyambunyikan kerapuhan atas nama kehalusan dan kelembitan jiwa. Itu sebabnya cinta jiwa selalu membutuhkan pelurusan dan pemaknaan dengan menyatukannya dengan cinta misi. Dari situ cinta jiwa menemukan keterahan dan juga sumber energi. Dan hanya itu yang memungkinkan romantisme dikombinasi dengan kekuatan jiwa. Maka orang-orang romantis itu tetap dalam kehalusan jiwanya sebagai pecinta, tapi dengan kekuatan jiwa yang tidak memungkinkan mereka jadi korban karena rapuh. Ketika kabar syahidnya syekh Abdullah Azzam disampaikan kepada istri beliau, janda itu hanya menjawab enteng, Alhamdulillah, sekarang dia mungkin sudah bersenang-senang dengan para bidadari…
(Anis Matta)

Sekolah Kehidupan

Sumber Kegembiraan
Mereka benar-benar hidup. Mereka masih terus berbincang dan bersenda gurau dalam perjalanan pulang ke rumah. Sehari penuh di sekolah seakan tidak melelahkan mereka. Atau mungkin - tepatnya - lelah tidak menghilangkan gairah mereka. Itu pemandangan sehari-hari dari keempat anak-anak saya dan ketiga temannya yang sama-sama bersekolah di Sekolah Alam. Padahal, karena jarak rumah dan sekolah yang jauh -sekitar 40 km - mereka harus menghabiskan 10 sampai 12 jam setiap harinya untuk belajar dan perjalanan.Sekolah telah menjadi pusat kehidupan mereka saat ini. Mereka benar-benar menikmati pusat kehidupan itu. Bahkan waktu-waktu mereka di rumah pun digunakan untuk membicarakan kehidupan mereka di sekolah. Sekolah bukan lagi beban. Sekolah adalah realitas kehidupan yang mereka jalani dengan penghayatan penuh. Sekolah adalah sumber kegembiraan. Bukan sumber stress yang biasanya membuat mereka kehilangan gairah.Disini kehidupan dihadirkan dalam sebuah tata ruang dengan lansekap yang ditata sedemikian rupa agar tetap natural dan tampak riil. Dengan menggunakan konsep fun learning, Sekolah Alam telah mengubah sekolah menjadi sebuah miniatur kehidupan yang bukan saja natural dan riil, tapi juga indah dan nyaman. Proses belajar mengajar berubah menjadi aktivitas kehidupan riil yang dihayati dengan penuh kegembiraan. Itu membantu anak-anak menikmati masa-masa awal pertumbuhan, dan membangun imaji-imaji positif tentang kehidupan dan bumi yang mereka huni.
Itu pesona pertama yang mengantar saya ke Sekolah Alam!!!Persepsi kita tentang kehidupan, tentang dunia, tentang bumi yang kita huni, yang kelak melandasi sikap-sikap kita dalam menjalani hidup, sesungguhnya terbentuk di masa awal pertumbuhan itu. Seperti apa kita mempersepsi kehidupan, dunia dan bumi yang kita huni pada awal kehidupan kita, seperti itulah kita akan menjalaninya. Imaji-imaji positif akan melahirkan energi, semangat dan gairah kehidupan. Begitu juga sebaliknya. Maka setiap "luka persepsi" pada masa itu, kelak akan mewariskan "luka emosi" dalam kehidupan kita. Dan setiap luka emosi, kelak akan mewariskan "gangguan pensikapan" dalam keseluruhan kepribadian kita. Itu sebabnya anak-anak yang bahagia di masa kecil jauh lebih berpeluang untuk berbahagia di masa dewasa dan tuanya kelak.Saya hanya ingin anak-anak saya menikmati masa-masa awal "perkenalan" mereka dengan kehidupan, dunia dan bumi yang mereka huni. Mereka tidak dilahirkan untuk memikul obsesi-obsesi saya sebagai orang tua. Mereka dilahirkan untuk kehidupan mereka sendiri. Tugas saya adalah memfasilitasi mereka untuk mengenal dunia dan kehidupan dimana mereka ditakdirkan menjalaninya. Walaupun mungkin saja mereka mendahului saya menemui ajal, tapi pada galibnya sayalah yang akan mendahului mereka. Jadi rasanya saya tidak akan menyertai mereka dalam keseluruhan waktu yang akan mereka lalui di dunia. Maka biarlah kuantar mereka sampai ke gerbang kehidupan, dan kukatakan pada mereka: "Inilah kehidupan yang dikaruniakan Allah kepadamu, wahai anak-anakku. Kalian hanya harus mensyukurinya. Dan itulah alasan mengapa kalian harus gembira menjalaninya".
Belajar Untuk Menjadi
Dalam miniatur kehidupan yang natural dan riil seperti itu, anak-anak benar-benar dipandang sebagai manusia seutuhnya. Bukan sekedar robot cerdas - yang harus dijejali dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan - dimana jam-jam belajar merupakan saat-saat "pengisian" yang mengerikan. Ledakan informasi di abad ini barangkali membuat banyak orang panik. Sementara kehidupan yang telah berubah menjadi medankompetisi yang kejam mendorong mereka berpikir, bahwa untuk bisa bertahan hidup anda harus mengetahui segalanya.Begitulah sekolah-sekolah kita didirikan sebagai tempat menjajakan "barang-barang" yang bernama ilmu pengetahuan, yang harus "dimiliki" setiap orang agar bisa bertahan hidup. Maka kita mengagumi "kecerdasan". Karena itulah mata uang paling bergengsi yang digunakan membeli "barang-barang" tersebut. Dan belajar adalah proses transaksinya.Di sekolah seperti itu anak-anak belajar "menguasai" pelajaran. Bukan menjadi sesuatu dengan pelajaran tersebut. Makin banyak pelajaran yang dapat mereka kuasai, makin baik transaksi mereka. Maka kita sekolah-sekolah berburu anak-anak cerdas, yang dapat melakukan banyak transaksi.Tapi yang kemudian kita saksikan justru sebuah ironi. Anak-anak itu tidak mengalami transformasi pembelajaran. Pelajaran matematika, misalnya, tidak serta merta membuat mereka dapat berpikir logis. Pelajaran sejarah tidak memberi mereka kesadaran dan emosi akan identitas kolektif. Pelajaran bahasa bahkan tidak membantu mereka berbahasa dengan baik dalam kehidupan sehari-hari.Belajar adalah proses berubah secara konstan!!!Pengetahuan bukan barang yang harus kita miliki. Pengetahuan adalah sebuah fungsi. Ia adalah cahaya yang menerangi ruang kesadaran batin kita. Seperti umumnya cahaya yang berpendar-pendar di tengah ruang gelap, kita hanya bisa bergerak secara baik dalam jengkal-jengkal ruang yang dibingkai cahaya. Sebagai sebuah fungsi kita harus mempelajari semua pengetahuan yang membantu kita berubah menjadi lebih baik. Belajar adalah proses menggunakan pengetahuan sebagai penuntun perjalanan mendekati kesempurnaan secara konstan. Belajar adalah proses menjadi secara konstan. Karena menjadi merupakan proses yang tidak pernah berakhir, maka belajar adalah satu-satunya proses kehidupan yang tidak pernah selesai.
Manusia adalah gabungan yang rumit antara ruh, emosi, akal dan fisik. Setiap aspek itu, kata Muhammad Quthub, seperti senar gitar yang harus dipetik bersama untuk melahirkan simfoni kepribadian yang utuh dan indah. Anak-anak bukan tabung besar yang harus diisi dengan pengetahuan. Mereka adalah senyawa kehidupan yang rumit dan kompleks. Mereka berubah, berbentuk dan bermetamorfosis melalui proses-proses yang juga kompleks, dimana pengetahuan hanyalah salah satu aspeknya.Dalam konteks itu, maka semua pengetahuan yang mereka butuhkan untuk membangun kehidupan yang lebih baik harus mereka pelajari. Sebaliknya, semua pengetahuan yang tidak mempunyai fungsi spesifik dalam kehidupan riil mereka tidak perlu mereka pelajari. Jenis pengetahuan terakhir ini, kata Umar Bin Khattab, bukan aib untuk tidak diketahui. Itu sebabnya Rasulullah saw mengajarkan kita sebuah doa: "Ya Allah ajari kami apa yang bermanfaat bagi kami, dan beri kami manfaat dari ilmu yang telah Engkau ajarkan pada kami". Dengan begitu, pengetahuan bekerja dalam kehidupan mereka, sebagai sumber pencerahan hidup.
Begitulah saya menyaksikan anak-anak saya tumbuh dan berkembang, terus menerus berubah dan menjadi sesuatu yang lain, bersamaan dengan pertambahan usia sekolah mereka. Gabungan antara pelajaran kelas, latihan outbound, penelitian lapangan (outing), market day, dan lainnya, telah memberikan pemahaman dan kesadaran yang relatif lebih utuh tentang kehidupan, membentuk struktur emosi dan mentalitas yang lebih stabil, serta membangun sikap-sikap keseharian yang lebih tercerahkan dari waktu ke waktu.Apa yang mereka pelajari di kelas terasa begitu dekat kehidupan sehari-hari mereka. Mereka, misalnya, belajar makna uang dan bagaimana menciptakannya melalui kegiatan market day. Suatu saat anak sulung saya, Hisan, yang kini duduk di kelas enam, mendapatkan untung sebesar 9000 rupiah dari hasil menjual juice dalam acara market day. Dia benar-benar merasa menang. "Sekarang", katanya, "Ican mulai tahu bagaimana caranya bikin uang".Pembelajaran seperti itu tentu saja menghadirkan pengetahuan dalam kehidupan nyata mereka. Pengetahuan bekerja pada fungsinya: membimbing mereka menjalani hidup. Itu sebabnya setiap pertambahan pengetahuan melahirkan perubahan-perubahan baru dalam kehidupan mereka. Mereka menjadi lebih baik. Mereka menjadi lebih tercerahkan.Tradisi Ilmiah, Bukan Prestasi BelajarSekolah bukanlah lapangan pacuan kuda!!!
Tapi ada sekolah yang dirancang sebagai lapangan pacuan kuda. Disana anak-anak dipacu untuk mengetahui lebih banyak. Bukan untuk menjadi sesuatu yang lebih baik. Tapi untuk mengalahkan orang lain. Kemajuan belajar diukur dengan capaian angka-angka. Bukan dengan perubahan-perubahan mendasar pada cara berpikir, struktur emosi dan pola sikap.Di sekolah seperti itu kasta-kasta baru dibangun berdasarkan kecerdasan!!!Barangkali tidak sepenuhnya salah untuk membagi murid-murid kedalam kelas-kelas berbeda berdasarkan tingkat kecerdasan. Yang salah adalah tren pembelajaran yang kita kembangkan. Secara tidak sadar sebenarnya sekolah semacam itu mengembangkan tren pembelajaran transaksional: anak-anak membayar mahal untuk mendapatkan guru terbaik, agar bisa menguasai semua pelajaran dan lulus dengan angka terbaik.Sekolah semacam itu biasanya melahirkan anak-anak pintar, bukan pembelajar apalagi ilmuwan. Mereka mempunyai prestasi belajar yang baik. Tapi tidak memiliki tradisi ilmiah yang kokoh. Kalau kelak mereka mendapatkan gelar doctor, prestasinya pasti summa cum laude. Tapi disertasi doktornya mungkin merupakan karya ilmiahnya yang pertama dan terakhir. Secara intelektual mereka mengalami diskontinyu. Mereka mungkin menduduki banyak jabatan akademik yang terhormat. Tapi tidak akan pernah punya waktu dan perhatian untuk menggarap karya ilmiah yang monumental.
Ada
beda yang teramat jauh antara tradisi ilmiah dan prestasi belajar. Prestasi belajar yang biasanya diukur secara kuantitatif melalui ujian, bukanlah indikator terbentuknya tradisi ilmiah. Tradisi ilmiah diukur melalui sikap seseorang terhadap pembelajaran, pengembangan intelektual berkesinambungan, penggunaan cara berpikir ilmiah dalam penyelesaian masalah, pembentukan keterampilan intelektual seperti bahasa oral dan tulisan, aktualisasi intelektual berkesinambungan, dorongan berkarya yang konstan.
Tren inilah yang hendak dibangun di Sekolah Alam. Sekolah ini menghapus sistem rangking, yang bukan saja memicu pembentukan kasta baru berdasarkan kecerdasan, tapi juga memandang potensi setiap siswa secara sama dan mengabaikan keunikan dan diferensiasi individual pada bakat, minat dan intelejensi. Disini siswa dipacu untuk tumbuh maksimal pada pusat keunggulan intelejensinya, yang menyatu bersama bakat dan minatnya. Tidak ada persaingan antar siswa yang dilakukan dengan standar yang sama. Sebab tujuan pembelajarannya membangun tradisi ilmiahnya, bukan sekedar memicu prestasi belajar. Siswa-siswa itu bukan peserta lomba pacuan kuda. Mereka dididik untuk menjadi pembelajar yang optimal dalam pembelajarannya.
Pendidikan Untuk Zaman Yang Berubah
Waktu adalah variabel lain. Persepsi kita tentang waktu mempengaruhi pola didik kita. Kita tidak mendidik anak-anak kita untuk hidup pada zaman yang telah kita lalui atau yang telah dilalui orang lain atau peradaban lain. Mereka memiliki zamannya sendiri. Pendidikan bertujuan menyiapkan mereka untuk menghadapi zaman mereka sendiri.Anak-anak kita hidup pada sebuah zaman dimana pengetahuan berkembang pesat dan merubah sendi-sendi kehidupan kita secara fundamental dan sangat cepat. Durasi perubahan-perubahan besar dalam kehidupan kita berlangsung kilat, karena faktor-faktor perubahnya bekerja simultan dan cepat. Ini menimbulkan kegamangan dan disorientasi dalam dunia pendidikan.Faktanya adalah kita tidak punya kendali atas zaman yang kelak akan dilalui anak-anak kita kelak. Kita tidak punya kendali atas perubahan-perubahan itu. Mungkin sekali kita bahkan sudah tidak ada ketika mereka mengalami perubahan-perubahan besar itu. Tapi adalah juga fakta bahwa semakin cepat dan sering suatu perubahan terjadi, semakin kita membutuhkan pegangan hidup yang bersifat permanen, yang tidak ikut berubah dalam perubahan-perubahan itu.Jadi yang dibutuhkan anak-anak kita adalah pegangan permanen itu. Yaitu keyakinan-keyakinan dan nilai-nilai agama. Agama mengajarkan mereka hakikat-hakikat besar dalam kehidupan mereka: tentang asal usul mereka, tentang tujuan hidup mereka, tentang nilai-nilai yang harus membimbing hidup mereka, tentang faktor-faktor permanen yang membentuk kualitas hidup mereka, yaitu penerimaan Allah, manfaat sosial dan pertumbuhan berkesinambungan.Apabila mereka belajar tentang itu semua dengan benar, mereka tumbuh pada pusat kehidupan yang benar dan pasti. Tapi itu saja tidak cukup. Mereka juga membutuhkan beberapa keterampilan dasar yang diperlukan untuk bertahan dan bertumbuh pada semua situasi. Sebagiannya merupakan keterampilan intelektual, sebagiannya lagi merupakan keterampilan emosional, sebagiannya lagi merupakan keterampilan fisik.Sisanya biarlah mereka yang memperlajarinya sendiri!!Itu yang dikembangkan Sekolah Alam. Membangun kemampuan-kemampuan dasar pada anak yang membuatnya proaktif dan adaptif terhadap perubahan-perubahan lingkungan. Kemampuan berpikir logis misalnya. Jika seorang anak mampu berpikir logis, itu mungkin lebih penting ketimbang sekedar mendapatkan angka tinggi dalam pelajaran matematika. Sebab kemampuan itu yang memberika kekuatan "mencerna" masalah-masalah hidupnya. Begitu juga latihan outbound. Disini mereka melatih keberanian, kesabaran, keuletan, kerjasama tim, kepemimpinan. Latihan ini membangun struktur mentalitas mereka secara kuat yang membuat mereka tahan terhadap goncangan-goncangan hidup.
Eskperimen Yang Belum Selesai
Namun tetap saja perlu dicatat: Sekolah Alam adalah eksperimen yang belum selesai. Usia sekolah ini masih terlalu muda. Selain itu, jangan mengharap anak-anak kita jadi sempurna di usia 12 tahun ketika ia menamatkan sekolah dasarnya. Tapi itu memang tabiat dunia pendidikan: dunia eksperimentasi tanpa henti. Disanalah proses kreatifnya berlangsung. Karena lingkungan strategis terus berubah, maka eksperimen-eksperimennya perlu dikembangkan terus menerus.Yang penting adalah apresiasi yang kita berikan terhadap setiap eksperimen baru. Dan buku (Sekolah Impian) yang sekarang hadir di hadapan pembaca ini adalah sebentuk apresiasi terhadap eksperimen yang belum selesai itu. Buku ini merupakan catatan kesan dari semua orang yang terlibat dalam eksperimen tersebut.
Ada
penginisiatif awal, pimpinan lembaga, guru dan orang tua murid. Dengan mengangkat berbagai aspek dari proses pembelajaran di Sekolah Alam, buku ini bertujuan mengangkat eksperimen-eksperimen pendidikan Sekolah Alam sebagai sebuah diskursus pendidikan.
Eksperimen-eksperimen itu tidak harus benar. Tapi pahala memulainya telah diraih, sekarang tinggal merebut pahala perbaikan dan penyempurnaannya. Apa yang penting dalam sebuah eksperimen bukanlah hasilnya. Tapi bibit yang ditanam dalam eksperimen itulah yang kelak akan berbuah: niat baik, kerja keras, obsesi kesempurnaan, kelapangan dada menerima kritik dan kerendahan hati merima pujian, tidak cepat puas dengan keberhasilan-keberhasilan kecil, serta anggapan yang tidak pernah hilang bahwa semua sukses dalam eksperimen ini semata-mata merupakan rahmat Allah, bukan karena kehebatan kita.
Semoga Allah menerima amal-amal kita, memaafkan kelalaian-kelalaian kita, dan menyempurnakan kekurangan-kekurangan kita. Semoga keterlibatan kita dalam dunia pendidikan ini, dalam posisi sebagai apapun, menjadi amal unggulan yang akan mengantar kita meraih ridha Allah dan surga-Nya kelak. Amin.

Mengelola Ketidak Sempurnaan

Apalagi yang tersisa dari ketampanan setelah ia dibagi habis oleh Nabi Yusuf dan Muhammad. Apalagi yang tersisa dari kecantikan setelah ia dibagi habis oleh Sarah, istri Nabi Ibrahim, dan Khadijah, istri Nabi Muhammad SAW? Apalagi yang tersisa dari pesona kebajikan setelah ia direbut oleh Ustman bin Affan? Apalagi yang tersisa dari kehalusan budi setelah ia direbut habis oleh Aisyah?
Kita hanya berbagi pada sedikit yang tersisa dari pesona jiwa raga yang telah direguk habis oleh para nabi dan orang shalih terdahulu. Karena itu persoalan cinta selalu permanen begitu: jarang sekali pesona jiwa raga menyatu secara utuh dan sempurna dalam diri kita. Pilihan-pilihan kita, dengan begitu, selalu sulit. Ada lelaki ganteng atau perempuan cantik yang kurang berbudi. Sebaliknya, ada lelaki shaleh yang tidak menawan atau perempuan shalehah yang tidak cantik. Pesona kita selalu tunggal. Padahal cinta membutuhkan dua kaki untuk bisa berdiri dan berjalan dalam waktu yang lama. Maka tentang pesona fisik itu Imam Ghazali mengatakan: “Pilihlah istri yang cantik agar kamu tidak bosan.” Tapi tentang pesona jiwa itu Rasulullah SAW bersabda: “Tapi pilihlah calon istri yang taat beragama niscaya kamu pasti beruntung.”
Persoalan kita adalah ketidaksempurnaan. Seperti ketika dunia menyaksikan tragedi cinta Puteri Diana dan Pangeran Charles. Dua setengah milyar manusia menyaksikan pemakamannya di televisi. Semua sedih. Semua menangis. Puteri yang pernah menjadi trendsetter kecantikan dunia dekade 80-an itu rasanya terlalu cantik untuk disia-siakan oleh sang pangeran. Apalagi Camila Parker yang menjadi kekasih gelap sang pangeran saat itu, secara fisik sangat tidak sebanding dengan Diana. Tapi tidak ada yang secara obyektif mau bertanya ketika itu. Kenapa akhirnya Charles lebih memilih Camila, perempuan sederhana, tidak bisa dibilang cantik, dan lebih tua ketimbang Diana, gadis cantik berwajah boneka itu? Jawaban Charles mungkin memang terlalu sederhana. Tapi itu fakta, “Karena saya lebih bisa bicara dengan Camila.”
Kekuatan budi memang bertahan lebih lama. Tapi pesona fisik justru terkembang di tahun-tahun awal pernikahan. Karena itu ia menentukan. Begitu masa uji cinta selesai, biasanya lima sampai sepuluh tahun, kekuatan budi akhirnya yang menentukan sukses tidaknya sebuah hubungan jangka panjang. Dampak gelombang magnetik fisik berkurang Bukan karena kecantikan atau ketampanan berkurang. atau hilang bersama waktu.Yang berkurang adalah pengaruhnya. Itu akibat sentuhan terus menerus yang mengurangi kesadaran emosi tentang gelombang magnetik tersebut.
Apa yang harus kita lakukan adalah mengelola ketidaksempurnaan melalui proses pembelajaran. Belajar adalah proses berubah secara konstan untuk menjadi lebih baik dan sempurna dari waktu ke waktu. Fisik mungkin tidak bisa dirubah. Tapi pesona fisik bukan hanya tampang. Ia lebih ditentukan oleh aura yang dibentuk dari gabungan antara kepribadian bawaan, pengetahuan dan pengalaman hidup. Ketiga hal itu biasanya termanifestasi pada garis-garis wajah, senyuman dan tatapan mata serta gerakan refleks tubuh kita. Itu yang menjelaskan mengapa sering ada lelaki yang tidak terlalu tampan tapi mempesona banyak wanita. Begitu juga sebaliknya.
Itu jalan tengah yang bisa ditempuh semua orang sebagai pecinta pembelajar. Karena pengetahuan dan pengalaman adalah perolehan hidup yang membuat kita tampak matang. Dan kematangan itu pesonanya. Sebab, setiap kali pengetahuan kita bertambah, kata Malik bin Nabi, wajah kita akan tampak lebih baik dan bercahaya.
(Anis Matta)

Biar Kuncupnya Mekar jadi Bunga

Ternyata obrolan kita tentang cinta belum selesai. Saya telah menyatakan sebelumnya betapa penting peranan kata itu dalam mengekspresikan kata cinta. Tapi itu bukan satu-satunya bentuk ekspresi cinta. Cinta merupakan sebentuk emosi manusiawi. Karena itu ia bersifat fluktuatif naik turun mengikuti semua anasir di dalam dan di luar di diri manusia yang mempengaruhinya. Itulah sebabnya saya juga mengatakan, mempertahankan dan merawat rasa cinta sesungguhnya jauh lebih sulit dari sekedar menumbuhkannya. Jadi obrolan kita belum selesai. Walaupun begitu, saya juga tidak merasakan adanya urgensi untuk menjawab pertanyaan ini: apa itu cinta? Itu terlalu filosofis. Saya lebih suka menjawab pertanyaan ini: bagaimana seharusnya anda mencintai? Pertanyaan ini melekat erat dalam kehidupan individu kita. Cinta itu bunga; bunga yang tumbuh mekar dalam taman hati kita. Taman itu adalah kebenaran. Apa yg dengan kuat menumbuhkan, mengembangkan, dan memekarkan bunga-bunga adalah air dan matahari. Air dan matahari adalah kebaikan. Air memberinya kesejukan dan ketenangan, tapi matahari memberinya gelora kehidupan.
Cinta, dengan begitu, merupakan dinamika yg bergulir secara sadar di atas latar wadah perasaan kita. Maka begitulah seharusnya anda mencintai; menyejukkan, menenangkan, namun juga menggelorakan. Dan semua makna itu terangkum dalam kata ini: menghidupkan. Anda mungkin dekat dengan peristiwa ini; bagaimana istri anda melahirkan seorang bayi, lalu merawatnya, dan menumbuhkannya, mengembangkannya serta menjaganya. Ia dengan tulus berusaha memberinya kehidupan. Bila anda ingin mencintai dengan kuat, maka anda harus mampu memperhatikan dengan baik, menerimanya apa adanya dengan tulus, lalu berusaha mengembangkannya semaksimal mungkin, kemudian merawatnya... menjaganya dengan sabar.
Itulah rangkaian kerja besar para pecinta; pengenalan, penerimaan, pengembangan dan perawatan. Apakah anda telah mengenal isteri anda dengan seksama? Apakah anda mengetahui dengan baik titik kekuatan dan kelemahannya? Apakah anda mengenal kecenderungan-kecenderungannya? Apakah anda mengenal pola-pola ungkapannya; melalui pemaknaan khusus dalam penggunaan kata, melalui gerak motorik refleksinya, melalui isyarat rona wajahnya, melalui tatapannya, melalui sudut matanya? Apakah anda dapat merasakan getaran jiwanya, saat ia suka dan saat ia benci, saat ia takut dan begitu membutuhkan perlindungan? Apakah anda dapat melihat gelombang-gelombang mimpi-mimpinya, harapan-harapannya? Sekarang perhatikanlah bagaimana tingkat pengenalan Rosululloh saw terhadap istrinya, Aisyah. Suatu waktu beliau berkata, "Wahai Aisyah, aku tahu kapan saatnya kamu ridha dan kapan saatnya kamu marah padaku. Jika kamu ridha, maka kamu akan memanggilku dengan sebutan: Ya Rosulullah! tapi jika kamu marah padaku, kamu akan memanggilku dengan sebutan: Ya Muhammad!. Apakah beda antara Rosululloh dan Muhammad kalau toh obyeknya itu-itu saja? Tapi Aisyah telah memberikan pemaknaan khusus ketika ia menggunakan kata yang satu pada situasi jiwa yang lain. Pengenalan yang baik harus disertai penerimaan yang utuh. Anda harus mampu menerimanya apa adanya. Apa yang sering menghambat dlm proses penerimaan total itu adalah pengenalan yang tidak utuh atau "obsesi" yang berlebihan terhadap fisik. Anda tidak akan pernah dapat mencintai seseorang secara kuat dan dalam kecuali jika anda dapat menerima apa adanya. Dan ini tidak selalu berarti bahwa anda menyukai kekurangan dan kelemahannya. Ini lebih berarti bahwa kelemahan dan kekurangan bukanlah kondisi akhir kepribadiannya, dan selalu ada peluang untuk berubah dan berkembang. Dengan perasaan itulah seorang ibu melihat bayinya. Apakah yg ia harap dari bayi kecil itu ketika ia merawatnya, menjaganya, dan menumbuhkannya? Apakah ia yakin bahwa kelak anak itu akan membalas kebaikannya? Tidak. Semua yg ada dlm jiwanya adalah keyakinan bahwa bayi ini punya peluang utk berubah dan berkembang. Dan karenanya ia menyimpan harapan besar dlm hatinya bahwa kelak hari-hari jugalah yg akan menjadikan segalanya lebih baik. Penerimaan positif itulah yang mengantar kita pada kerja mencintai selanjutnya; pengembangan. Pada mulanya seorang wanita adalah kuncup yg tertutup. Ketika ia memasuki rumah anda, memasuki wilayah kekuasaan anda, menjadi istri anda, menjadi ibu anak-anak anda; Andalah yg bertugas membuka kelopak kuncup itu, meniupnya perlahan, agar ia mekar menjadi bunga. Andalah yg harus menyirami bunga itu dengan air kebaikan, membuka semua pintu hati anda baginya, agar ia dapat menikmati cahaya matahari yg akan memberinya gelora kehidupan. Hanya dengan kebaikanlah bunga-bunga cinta bersemi. Dan ungkapan "Aku Cinta Kamu" boleh jadi akan kehilangan makna ketika ia dikelilingi perlakuan yang tidak simpatik (dan tidak menyenangkan). Apa yg harus anda berikan kepada istri anda adalah peluang untuk berkembang, keberanian menyaksikan perkembangannya tanpa harus merasa superioritas anda terganggu. Ini tidak berarti anda harus memberi semua yang ia senangi, tapi berikanlah apa yg ia butuhkan. Tetapi setiap perkembangan harus tetap berjalan dlm keseimbangan. Dan inilah fungsi perawatan dari rasa cinta. Tidak boleh ada perkembangan yang mengganggu posisi dan komunikasi. Itulah sebabnya terkadang anda perlu memotong sejumlah (ranting atau cabang) yg sudah kepanjangan agar tetap terlihat serasi dan harmoni.
Hidup adalah simponi yg kita mainkan dengan indah. Maka, duduklah sejenak bersama dengan istri anda, tatap matanya lamat-lamat, dengarkan suara batinnya, getaran nuraninya, dan diam-diam bertanyalah pada diri sendiri: Apakah ia telah menjadi lebih baik sejak hidup bersama dengan anda? Mungkinkah suatu saat ia akan mengucapkan puisi Iqbal tentang gurunya: DAN NAFAS CINTANYA MENIUP KUNCUPKU ... MAKA IA MEKAR MENJADI BUNGA ...